Halaman

GILA


Ketika ku cuba berbicara dengan bayang yang tercermin, ketika itu kulihat sesusuk makhluk hidup yang hambar, tatapannya kosong berbinar letih, seolah ada beban berat yang yang tergambar jelas dalam seketsa senyumannya. Ku masuki pandanganku lebih jauh . . . semakin jelas, dekat . . . dan lebih dekat lagi, masih tersisa bekas genang air mata di sisi kelopaknya, ku ambil sebatang rokok dan ku mencuba berbicara dengannya, gerak bibirnya persis sama dengan gerakku, namun masih terasa janggal. Ada yang bereza, kupejamkan mataku dan mencuba kembali menatapnya dengan mata terpejam, bukan gelap yang kulihat, tapi berjuta gemercik cahaya yang membawaku lebih dekat dengan degup jantung yang semakin mengencang, sambil berbisik lirih ku berucap . . . siapa aku?, pertanyaan bodoh yang mungkin di lontarkan anak kecil yang tersesat jauh dari ibunya, ku cuba pandangi senyumku, namun tak tampak sedikitpun ketulusan yang kudapati, hanya sindiran pilu merobek lakaran lukisan yang tergambar di atas kertas lusuh yang basah. Apa sebenarnya yang ingin aku ketahui, sepertiga dari dua pintu telah kubuka dengan caraku, tanpa kunci, tanpa gerigi.
Ku teguk secangkir kopi hangat yang selalu kubuat ketika malam semakin meninggi, emosiku kala kudapati semut-semut menggerumuni kopi yang telah ku buat, “itu bukan kau punya lah bodoh” gumamku pada seangkatan semut yang seolah meloncat bahagia kerana mendapati apa yang ia mau tanpa perlu berpenat lelah, yang lebih menjengkelkan ketika semut-semut itu semakin banyak dan mencumbui kopi yang baru ku teguk setengah, oh shit . . . dengan kesal ku beranjak dan ku alunkan dengan emosiku kopiku tadi, dan ternyata ku takut olehnya, oleh semut kecil.
Ku kembali, dan masih terdiam semakin dalam, anganku melayang tanpa aturan, tanpa arah, tanpa batas, kenapa semua berubah ketika ku mencuba untuk memulakan, bukan . . .bukan pernyataan bodoh lagi yang ku cuba presentasikan. Ketika itu hujan datang, lebat . . . bukan hanya rintik yang turun, seolah langit marah dan mencuba mengungkapakan dengan deru angin lebat yang menyindir bumi dengan selayang tamparan air yang begitu deras menghujan, kala itu ku cuba untuk keluar dan mencari sepuntung rokok yang kiranya masih dapat ku beli dengan lebihan duit di sakuku, namun sial gemercik hujan menampar mukaku, membuatku kaku dan membuat perih bekas lukaku, ku cari sebuah payung untuk membantuku berjalan dari hujanan air yang tak kenal kata “tunggu”, sampai akhirnya ku dapati apa yang ku inginkan, ku cucuh dan ku hisap semahuku, semakin dalam untuk mentafsirkan angankuu, lupakan sejenak hujan itu kini hari yang sama dengan hari saat hujan itu turun, tapi tidak dengan tahun dan bulannya, bulan ini membawa terik di siangnya yang menyalut ego bagi yang tersentuh. Dan ku pun berbaring sendu menunggu mentari berbaik hati, dan ternyata mentari itu masih berhati, sejuk kini kudapati, satu hari . . . dua hari masih kurasa sejuknya, namun dihari berikutnya tidak, kerana ada bisikkan sendu dari sang rembulan, esok akan hujan, dan sialnya kudapati payungku telah terbang ditiup angin malam itu, rasa bodoh dengannya, ku pejamkan mata dan mencuba merangkai cerita sebelum ku terlelap, dan cerita indah pastinya yang ku buat, agar nanti ku dapat melajutkannya dalam visual mimpi yang sempurna, dengan sound yang tanpa noise, so perfec pastinya, kerana dengan mimpi semua bisa kunikmati, tapi tidak di duniaku.
Sampai akhirnya alarm jam ku membangunkanku dari mimpi yang susah payah ku sutradarai, sial memang baru setengah jalan ku buat dan harus aku relakan alarm yang menentukan ending dari senarioku, dua kali ku kecewa dengannya . . . dengan apa yang aku buat namun hilang tanpa inginku, hey . . . . ternyata pagi ini tak setitik air hujanpun yang turun, cerah . . .yah pagi yang cerah tapi lagi dan lagi aku harus jujur, tidak dengan jiwaku. Oh . . . ku baru ingat bulan berbohong kepadaku, dan selalu ada kesulitan bagi sang pembohong, jadi tunggu. Kan kau dapati setengah bayangmu hilang esok malam. Kulengkapi dongeng tentang bulan yang berdusta. Sialnya pagi ini . . . pagi secerah ini ku di paksa mencari sebuah payung, yang membuatku berfiqir bukan hanya aku yang gila, tapi mereka !!!. bukankah hari ini cerah dan tak memerlukan payung untuk berteduh ???. “jangan . . . . jangan pernah bilang kita tak tahu nanti !!!”. kerana maaf aku bukan sang pemimpi yang mengharap sebuah keajaiban, aku tak percaya dengan kesempatan kedua, dan ku enggan berandai andai, hari ini adalah sekarang bagiku, kenapa semua seakan memaksaku, bukan cuma perasaan, tapi ini kenyataan. Jangan pernah hibur aku dengan kata-kata yang . . . . . entahlah . . . yang mungkin kau fikir boleh menenangkanku, percuma hatiku telah hitam, dan paru-paruku telah putih, dan aku tak pernah percaya dengan warna lain selainnya. Cerita kosong jingga ketika jatuh cinta. Hanya bualan merah ketika emosi bergejolak.
Biarkan aku bebas menentukan apa yang ku mahu, biarkan aku hidup dengan apa yang ku miliki, tak perlulah kau . . berbaik hati menyuapiku makanan yang enggan aku kunyah, lepaskan rantai besi yang mengikat erat kakiku, biarkan ku berjalan, biarkan aku bernafas, dan kau bintang . . . cukup kedip manjamu, karena ku tahu kau hanya merayuku masuk dalam lubang yang kemarin, untukmu bulan jangan pernah dustai aku.
“ Beribu bintang yang berkelip riang, tak satupun tersenyum padaku,
kosong terasa di dalam relung hati, dan jiwaku

Sampai akhirnya memang tak ada bintang yang tersenyum padaku oleh kataku. Hanya bintang yang tak mencuri cahayalah yang dapat mengerti, “gilaku sedarku. Dan aku !!”.

Tiada ulasan: