Halaman

JIWA


Lemah kaki menumpu dada yang begitu sesak, terlintas yang lalu ketika sepi datang, bagai sebuah role filem yang di putar ketika pertunjukan teater tiba, dunia menyaksikan kisahku yang berliku. Kisah-kisah lalu kembali ke permukaan menghasilkan dilema menyesakkan hati dan tak pernah henti, seolah realiti hanya ilusi. Aku masih di sini menginjak tanah yang sama, mendengar celoteh yang sama, menatap mentari yang sama dan menghirup udara yang sama. Betapa jemunya hariku bila terus begini, berjalan ke depan tetapi nyatanya ke belakang. Di pertemukan kembali, yang telah pergi tapi tetap di sini menguatkan juga merapuhkan, kenapa tak pernah hilang bayangmu dari kelopak mataku.
Aku semakin larut, hati semakin surut, tak berani ku kini bermain dengan keping-keping hati, terlalu sesak. Diam ku pun tak menjawab segala gundah. Tawa tak sepenuhnya menghilangkan duka, tersenyum pun begitu berat, kerana lidah telah berkarat, janji tinggal janji yang hanya lalu lalang menghiasi kata agar terparut lebih manis. Ketika harapan terbawa angin Julai ku genggam itu, tapi ternyata hujan terlalu deras membasahi mata dan hatiku, dan bisa di pastikan semua lepas meninggalkan bait-bait jingga yang terhentam bertebaran presepsi yang tak pernah sehati. Ini hujung dari jalan yang ku lalui, tapi semua belum berakhir, yang lalu menciat kembali ke permukaan menggoyangkan idealisme diri. Dan ternyata penghujung bukan akhir dari semuanya, masih ada jalan setapak yang harus kulalui untuk membetulkan diri kembali. Aku lelah bahkan terlalu lelah untuk memulai kembali dari awal. Dan aku pun tak tahu mesti dari mana aku memulainya, semangat masih tak cukup untuk menguatkan diri, malam pun menjadi teman yang setia memberi penyelesaian yang tak pasti, kerana hanya mengharap sebuah keajaiban yang di tawarkan.
Mengapa semuanya tak pasti, berawal A berakhir Z, atau pun sebaliknya, membuatku semakin berfikir bahawa hidup hanya sebuah deretan abjad dan angka saja, yang selalu menuntut kehendak diri untuk selalu bernilai A dan 100, oh . . . . terlalu dramatik, tidakkah ada yang melihat diri dari seberapa kuat seseorang melawan kemelut hati, ataukah semua sama hanya melihat dari hujung dari sebuah perjalanan. Ironi memang, hidup hanya di cerminkan dari hiasan apa saja yang ada di dahi. aku mengerti tapi tidak memahami, banyak ungkapan yang ingin terlontar, tapi terasa percuma memaki dunia yang tak betelinga.

Tiada ulasan: